Minggu, 22 November 2009

kegelapan malam

hidupku dimalam hari

Dulu, ketika ada orang yang bercerita bahwa hampir semua pemimpin duduk kesepian di puncak piramida, saya agak kurang percaya. Pasalnya, secara kasat mata kelihatan, setiap pemimpin dikelilingi oleh banyak sekali pengikut. Di mana-mana muncul diikuti oleh banyak orang.

Sekian tahun setelah menjadi konsultan banyak pemimpin perusahaan, dan juga merasakan sendiri bagaimana kesepiannya saya di puncak piramida sebuah perusahaan swasta, terasa sekali kebenaran pernyataan di atas.

Ada banyak sekali hal yang hilang begitu duduk di atas. Tawa ria yang bebas, hubungan tanpa jarak, manusia-manusia tulus yang datang tanpa kepentingan, kebebasan dari politik perkantoran yang busuk, hidup dengan stress ringan, hanyalah sebagian kecil saja dari kemewahan hidup yang hilang.

Ketika hanya menjadi penasehat sejumlah pemimpin, ringan, enteng, dan jernih saja saya bisa menasehati mereka. Banyak klien yang bahkan mendekatkan anaknya ke saya, guna diberikan pencerahan berpikir ketika kesepian di atas. Namun, begitu duduk dan merasakan sendiri rasanya kesepian, baru terasa amat dalam substansi dari ide pemimpin yang kesepian di atas.

Ada kerinduan akan tawa yang bebas, tetapi saya tidak bisa melakukannya terlalu sering, sebab menyangkut the power of execution. Ada niat untuk lari dari politik perkantoran, tetapi tidak bisa ditinggalkan begitu saja, karena setiap pemimpin harus melakukan power games. Maunya memiliki stres yang ringan-ringan saja, namun di atas, hampir semua informasi hadir seperti teka-teki yang tidak saja mengasikkan, tetapi juga membawa tekanan.

Ketika dunia pemimpin belum saya tahu langsung wajah aslinya, mimpi untuk sampai di sana sering hadir. Sekarang, ketika semua itu sudah menjadi keseharian, kadang saya rindu akan dunia orang biasa yang sederhana dan bersahaja. Ada kebahagiaan tersendiri ketika bercengkerama dengan tukang taman yang mengurus taman rumah, dengan satpam yang menjadi penjaga rumah, atau dengan pedagang skoteng yang kerap lewat di malam hari. Namun, bukankah daya radiasi hidup dan kehidupan pemimpin jauh lebih luas dari sekadar manusia biasa yang sederhana dan bersahaja?

Pertanyaan terakhir inilah yang memompa semangat saya, untuk tegar kesepian di atas.

Lebih dari sekadar takut kesepian, pemimpin seyogyanya terbang seperti burung elang. Tinggi, sendirian, kesepian, namun memiliki helicopter"s view yang amat mengagumkan. Atau ibarat orang yang bangun di pagi hari sendirian, kemudian siap disebut aneh oleh semua orang ketika bertutur tentang apa yang terjadi di pagi hari.

Sebagaimana burung elang yang sebenarnya, ia memang tidak pernah terbang bersama-sama, dan juga penuh kebebasan. Ia senantiasa sendirian.

Setiap kali saya mengambil keputusan penting, selalu saya usahakan untuk membayangkan diri terbang tinggi, dan bebas dari segala ketakutan termasuk dipecat besok pagi. Untuk kemudian, berusaha sekuat tenaga mengangkat dan menarik bawahan ke atas. Persis seperti magnet, untuk menarik logam yang berat, diperlukan tenaga yang amat kuat.

Stres, marah, tegang, kehilangan kawan, bahkan kadang frustrasi adalah bagian dari tanda-tanda mulai terkuras habisnya tenaga untuk menarik orang-orang bawah. Apapun harganya, ia mesti dibayar oleh setiap orang
yang berani memutuskan diri hidup menjadi pemimpin.

Hanya dengan cara terakhir, daya radiasi pemimpin menjadi luas, dalam dan panjang. Magnetnya akan menarik ke atas banyak orang. Standar kualitasnya diikuti.

Meminjam contoh cantik John Maxwell, pemimpin orkestra ketika bekerja harus membalik punggung di hadapan pengunjung. Ia membuat keputusan seorang diri - sekali lagi seorang diri. Ia tidak bisa hanyut dengan pengunjung, dan memperhatikan respons pengunjung terhadap cara dia memimpin. Bakti hidup dan perhatiannya tidak ditujukan untuk pengunjung, tetapi untuk bawahan-bawahan yang ia pimpin. Tepuk tangan penonton itu penting, tetapi bukan itu tujuannya. Tujuan utamanya, memimpin pemain orkestra secara amat cemerlang.

Untuk mencapai tujuan tadi, pemimpin memerlukan lem yang bisa mengikat tanpa paksaan. Logika adalah salah satu perlengkapan dari lem tadi. Namun, sehebat-hebatnya logika, dia tidak bisa mengalahkan hubungan dari hati ke hati.

Hubungan terakhir, mirip sekali dengan semen. Sekali merekat, susah sekali merobohkannya. Bedanya dengan logika yang boros sekali dengan kata-kata, hubungan dari hati ke hati tidak memerlukan terlalu banyak kata-kata. Setiap tambahan kata-kata, hanya akan memperenggang hubungan. Namun ia merindukan banyak tindakan. Lebih-lebih yang dibangun di atas ketulusan dan kemurnian.

Setiap tambahan tindakan tadi, di satu sisi memperkuat kekuatan daya tarik magnet pimpinan, dan pada saat yang sama memperingan gerakan orang bawah untuk ditarik ke atas.

Ada saatnya, "burung elang" pemimpin akan terbang ringan, bebas dan sedikit hambatan. Dan ini sangat ditentukan pada daya rekat lem di atas.

Saya memang masih terbang berat dan memiliki cukup banyak hambatan. Namun, ada saatnya, ketika tabungan hubungan dari hati ke hati sudah memadai, "burung elang" saya akan terbang bebas dan ringan.

Sama dengan burung elang yang sebenarnya, di titik ini, setiap hambatan tidak membuat daya jangkau terbangnya menyempit. Justru hambatan tadi - seperti angin - akan membuat burung elang terbang semakin jauh dan semakin jauh.

haram rokok

Rokok Haram, Tapi Miras, Hiburan Seronok, dan Korupsi Jalan Terus!
Benarkah pengharaman rokok itu solusi?
Hasil Sidang Pleno Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia yang ketiga di aula Perguruan Diniyyah Puteri, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 25 Januari 2009 akhirnya memilih hukum makruh untuk merokok. Yang diharamkan merokok hanya anak-anak, remaja, wanita hamil, dan merokok di tempat umum. Untuk memberikan keteladanan kepada masyarakat, semua jajaran pengurus MUI diharamkan merokok dan apabila merokok akan diberi sanksi organisasi.

Fatwa tersebut telah melahirkan berbagai kekhawatiran dan reaksi dari berbagai kalangan. Ada yang menganggap fatwa MUI tidak memiliki dampak apapun. Ada juga yang merasa khawatir kehilangan pekerjaan jika pabrik rokok sampai ditutup oleh pemerintah. Menilik kinerja MUI selama ini seharusnya lembaga agama terbesar ini mempunyai pertimbangan yang lebih jauh. Apalagi mereka hanya mengkhususkan haramnya rokok bagi kalangan tertentu termasuk anak-anak , remaja dan wanita hamil.
Koran Jawa Pos dalam opininya terkait hal ini menurunkan tulisan, Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok dan masalah golput menarik perhatian masyarakat. Sederhana saja, rokok dan golput menyangkut nasib jutaan orang. Apalagi, masalah rokok juga menyangkut periuk nasi sekaligus kesehatan jutaan orang.
Sialnya, fatwa MUI tentang dua hal penting tersebut terkesan setengah hati. Soal fatwa haram merokok, misalnya. Mengapa MUI hanya membatasi untuk anak-anak, remaja, dan wanita hamil, serta mereka yang merokok di tempat umum? Fatwa itu seolah membolehkan atau menghalalkan orang dewasa, wanita tidak hamil, dst merokok sendirian di kamar.
Padahal, duduk masalahnya jelas bahwa sesuatu dianggap haram jika menyebabkan diri sendiri dan orang lain menderita. Atau dalam bahasa yang lebih gampang, jika banyak mudaratnya dibandingkan dengan manfaatnya.
Jangankan merokok atau minum minuman keras, baru makan nasi saja kalau berlebihan dan membuat badan sakit dan kesehatan terganggu sudah termasuk haram. Karena itu, sebelum memutuskan sesuatu itu haram atau tidak, MUI juga mesti bertanya kepada ahli kesehatan, apakah benar hasil penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan manusia?
Jika jawabannya tegas ”ya”, mestinya MUI tidak boleh setengah hati untuk ”membatasi” larangan merokok hanya bagi anak-anak dan remaja serta wanita hamil. Kalau memang berbahaya, ya harus ada fatwa tegas: merokok haram bagi siapa pun dan di mana pun, baik sendirian, apalagi di tempat umum.
Persoalan lain yang perlu ditanyakan kepada MUI adalah hukum haram merokok di sini ada batasannya. Yaitu hanya untuk kalangan tertentu, sebut saja anak-anak. Dalam hukum Islam hukum mereka yang terkena kewajiban adalah yang sudah mencapai usia balig, adapun yang belum mereka tidak terkena hukum tersebut, seperti wajib, haram dan makruh. Dari sisi ini saja MUI perlu dipertanyakan. Mereka yang duduk di jajaran lembaga agama terbesar di Indonesia ini tentunya para pakar di bidang agama. Apakah mereka tidak menyadari bahwa anak-anak belum tersentuh hukum Islam ? Ataukah mereka lalai mempertimbangkan hal ini.
Menyikapi fatwa MUI, muncul anekdot di masyarakat. Misalnya, tentang fatwa rokok haram. Pastilah umat Islam akan menghindari rokok karena itu syarat untuk masuk surga. Namun, umat Islam Indonesia akan kaget jika di surga nanti bertemu saudara sesama muslim dari negara lain. Akan muncul pertanyaan, “Kok dia masuk surga, padahal di negaranya, rokok yang katanya haram masih dikonsumsi?”
Dalam kurun waktu terakhir, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan beberapa fatwa yang mengatur kehidupan masyarakat. Nilai positif yang muncul, MUI menunjukkan ketegasannya. Entah ketegasan itu bermakna sebuah eksistensi kelembagaan atau yang lain. Kekhawatiran pun muncul jika fenomena itu hanya spontanitas dalam merespons realitas kehidupan sosial. Artinya, kebijakan tersebut muncul hanya sebagai pendukung. Bukan berdasar doktrin agama yang ada.
Fatwa haram untuk golput pada pemilu mendatang, misalnya, ibarat asap, yang tidak akan muncul jika tidak ada api. Fatwa itu muncul untuk merespons sikap masyarakat pada pesta demokrasi mendatang. Ditengarai, masyarakat bakal abstain pada pemilu tersebut. Dari situlah, MUI mengeluarkan fatwa golput haram.
Anehnya, hanya MUI yang mengeluarkan fatwa itu. Tidak tahu mengapa, yang jelas, organisasi keagamaan lain tidak mengeluarkan fatwa apa pun untuk merespons ancaman golput.
Belum selesai kontroversi fatwa golput haram, MUI di beberapa daerah mengeluarkan fatwa rokok haram. Esensi fatwa tersebut juga diragukan. Dalam lingkungan pesantren, hampir semua kiai lekat dengan budaya merokok. Hal itu ditiru santri yang mengaji di lembaganya. Bukan hanya kebiasaan, tetapi sampai pada jenis rokok yang diisap, akan menjadi panutan santri. Realitas ini menjadi dasar keraguan atas fatwa MUI tentang rokok haram.
Seperti halnya fatwa golput haram, fatwa rokok haram pun memiliki tujuan tersendiri. Salah satunya, program kawasan tanpa rokok (KTR). Di lingkungan pemerintahan, program KTR sudah menjadi perda. Seperti Surabaya yang menjadikan beberapa kawasan bebas rokok. Di antaranya, sarana ibadah, sarana pendidikan, tempat bermain yang banyak anak kecil, serta rumah sakit. Bisa jadi, fenomena itulah yang mendorong MUI mengeluarkan fatwa.
Sementara itu, Koran Tempo menyoroti dampak sosial-ekonomisnya, menurut koran ini, Fatwa MUI ini merupakan set-back. Fatwa MUI tidak efektif dijadikan gerakan preventif bagi sosialisasi bahaya merokok.
Memang berat menghukumi haram pada perbuatan merokok, karena efek sosial-ekonomisnya sangat besar. Akan terjadi pengangguran besar-besaran seandainya pabrik rokok di negeri ini ditutup, dan angka kasus kriminal akan meningkat karena faktor ekonomi ini. Namun, fatwa makruh atas perbuatan merokok selamanya akan sulit menghapus tradisi merokok di negeri ini. Fatwa MUI di atas membuka peluang besar kepada perokok untuk terus merokok walau sudah diberi tahu bahwa merokok bisa mengakibatkan berbagai penyakit yang membahayakan. Seandainya MUI memfatwakan hukum haram atas perbuatan merokok, itu suatu kemajuan besar, sebuah indikasi ketegasan dalam menghukumi masalah sosial yang cukup meresahkan. Minimal dengan hukum haram merokok, orang akan berpikir “dosa” kalau melakukannya. Kalau fatwa MUI dirancang untuk mencegah kerusakan, khususnya dalam aspek kesehatan akibat merokok, hukum haram adalah pilihan yang tepat.
Kebanyakan perokok, khususnya mereka yang sudah kecanduan merokok, akan menghentikan aktivitas rokoknya kalau sudah mendapat peringatan dari dokter. Misalnya peringatan bahwa, kalau masih merokok, penyakitnya akan semakin ganas, sulit tertolong, dan alasan medis lainnya.
Namun bagi kalangan petani, pengusaha dan pemerintah fatwa MUI ini jelas membuat mereka rugi. Misalnya saja para petani tembakau akan kehilangan pembeli hasil ladangnya. Para pengusaha akan kehilangan konsumen dan pemerintah akan kehilangan devisa yang dihasilkan dari pajak rokok. Ini jika lihat dari aspek ekonomi. Yang jelas sikap MUI dalam masalah ini tidak akan banyak berpengaruh bagi masyarakat Indonesia. Karena lembaga ini tidak memiliki pengaruh yang mengikat bagi umat Islam di Indonesia. Lembaga ini sekedar memberikan fatwa, namun soal diterapkan atau tidak, mereka tidak pernah memikirkannya.
Hal ini lebih didorong oleh kondisi umat Islam di Indonesia. Masyarakat muslim di negara kita mayoritasnya tidak begitu memegang prinsip dan ajaran agama mereka. Agama sebatas untuk menentukan status individu dan tak lebih dari itu. Yang lebih parah lagi adalah masyarakat muslim kita kurang memahami ajaran agamanya dan hanya ikut-ikutan dalam memeluk agama. Sebenarnya yang paling perlu untuk dilakukan oleh MUI adalah meningkatkan kecerdasan beragama warga. Lembaga ini harus lebih berperan dalam menyebarkan ajaran Islam ketimbang duduk dan rapat menentukan suatu hukum. Nah harapan kita sebagai bangsa Indonesia adalah MUI lebih mawas diri dan juga tanggap terhadap isu-isu yang lebih besar baik di dalam maupun dunia Islam